Atas dasar itu, mereka yang
bertanggung jawab terhadap kemanusiaan tak dapat mengelak dari sebuah tugas
mulia yang menantang, yakni menjinakkan bahaya Pragmatisme dengan mengkaji dan
mengkritisinya, sebagai landasan strategis untuk melakukan dekonstruksi
(penghancuran bangunan ide) Pragmatisme, sekaligus untuk mengkonstruk ideologi
dan peradaban Islam sebagai alternatif dari Kapitalisme yang telah mengalami
pembusukan dan hanya menghasilkan penderitaan pedih bagi umat manusia.
B. Hakikat Pragmatisme
Deskripsi mengenai Pragmatisme akan
diawali dengan penjelasan ringkas tentang sejarah mata rantai pemikiran Barat,
agar diperoleh gambaran komprehensif tentang posisi Pragmatisme dalam
konstelasi pemikiran Barat.
a. Asal Usul
Pragmatisme
Setelah melalui Abad Pertengahan (abad
V-XV M) yang gelap dengan ajaran gereja yang dominan, Barat mulai menggeliat
dan bangkit dengan Renaissance, yakni suatu gerakan atau usaha –yang berkisar
antara tahun 1400-1600 M– untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik Yunani
dan Romawi. Berbeda dengan tradisi Abad Pertengahan yang hanya
mencurahkan perhatian pada masalah metafisik yang abstrak, seperti masalah
Tuhan, manusia, kosmos, dan etika, Renaissance telah membuka jalan ke arah
aliran Empirisme. William Ockham (1285-1249) dengan filsafat Gulielmus-nya yang
mendasarkan pada pengenalan inderawi, telah mulai menggeser dominasi filsafat
Thomisme, ajaran Thomas Aquinas yang menonjol di Abad Pertengahan, yang
mendasarkan diri pada filsafat Aristoteles. Ide Ockham ini dianggap sebagai
benih awal bagi lahirnya Renaissance.
Semangat Renaissance ini, sesungguhnya
terletak pada upaya pembebasan akal dari kekangan dan belenggu gereja dan
menjadikan fakta empirik sebagai sumber pengetahuan, tidak terletak pada
filsafat Yunani itu sendiri. Dalam hal ini Barat hanya mengambil karakter utama
pada filsafat dan seni Yunani, yakni keterlepasannya dari agama, atau dengan
kata lain, adanya kebebasan kepada akal untuk berkreasi. Ini terbukti antara
lain dari ide beberapa tokoh Renaissance, seperti Nicolaus Copernicus
(1473-1543) dengan pandangan heliosentriknya, yang didukung oleh Johanes Kepler
(1571-1630) dan Galileo Galilei (1564-1643) . Juga Francis Bacon (1561-1626)
dengan teknik berpikir induktifnya, yang berbeda dengan teknik deduktif
Aristoteles (dengan logika silogismenya) yang diajarkan pada Abad
Pertengahan. Jadi, Barat tidak mengambil filsafat Yunani apa
adanya, sebab justru filsafat Yunani itulah yang menjadi dasar filsafat Kristen
pada Abad Pertengahan, baik periode Patristik (400-1000 M) dengan filsafat
Emanasi Neoplatonisme yang dikembangkan oleh Augustinus (354-430), maupun
periode Scholastik (1000 – 1400 M) dengan filsafat Thomisme yang bersandar pada
Aristoteles. Semua filsafat Yunani ini membahas metafisika, tidak membahas
fakta empirik sebagaimana yang dituntut oleh Renaissance. Jadi, semangat
Renaissance itu tidak bersumber pada filsafat Yunaninya itu sendiri, tetapi
pada karakternya yang terlepas dari agama.
Renaissance juga diperkuat adanya
Reformasi, sebuah upaya pemberontakan terhadap dominasi gereja Katholik yang
dirintis oleh Marthin Luther di Jerman (1517). Gerakan ini bertolak dari
korupsi umum dalam gereja –seperti penjualan Surat Tanda Pengampunan Dosa
(Afllatbrieven)–, penindasannya yang telanjang, dan dominasinya terhadap
negara-negara Eropa. Meskipun Reformasi tidak secara langsung ikut
memperjuangkan apa yang disebut “pembebasan akal”, tetapi gerakan ini secara
tak sadar telah memperkuat Renasissance dengan mempelopori kebebasan beragama
(Protestan) dan telah memperlemah posisi Gereja dengan memecah kekuatan
Gereja menjadi dua aliran; Katholik dan Protestan. Kritik-kritik terhadap Injil
di Jerman sekitar abad XVII juga dianggap implikasi tak langsung dari adanya
Reformasi. Meskipun demikian, Gereja Katholik dan tokoh Reformasi memiliki
sikap sama terhadap upaya Renaissance, yakni menentang ide-ide yang tidak
sesuai dengan Injil. Calvin, seorang tokoh Reformasi di Jenewa (Swiss),
mendukung pembakaran hidup-hidup terhadap Servetus dari Spanyol (1553), yang
menentang Trinitas. Gereja Katholik dan Reformasi juga sama-sama menolak ide
Copernicus (1543) tentang matahari sebagai pusat tatasurya, seraya
mempertahankan doktrin Ptolemeus yang menganggap bumi sebagai pusat tatasurya.
Bertolak dari prinsip-prinsip
Empirisme John Locke, George Berkeley (1685-1753) mengembangkan
“immaterialisme”, sebuah pandangan yang lebih ekstrim daripada pandangan John
Locke. Jika Locke berpandangan bahwa kita dapat mengenal esensi sebenarnya
(hakikat) dari fenomena material dan spiritual, Berkeley menganggap bahwa
substansi-substansi material itu tidak ada, Yang ada adalah ciri-ciri yang
diamati. Pandangan Locke dan Berkeley dikembangkan lebih lanjut oleh
David Hume (1711-1776), dengan dua ide pokoknya; yakni tentang skeptisisme
(keragu-raguan) ekstrim bahwa filsuf itu mampu menemukan kebenaran tentang apa
saja, dan keyakinan bahwa “pengetahuan tentang manusia” akan dapat menjelaskan
hakikat pengetahuan yang dimiliki manusia.
Selain George Berkeley dan David Hume,
Immanuel Kant (1724-1804) juga dianggap salah seorang tokoh Masa Pencerahan.
Filsafat Kant disebut Kritisisme, yakni aliran yang mencoba mensintesiskan
secara kritis Empirisme yang dikembangkan Locke yang bermuara pada Empirisme
Hume, dengan Rasionalisme dari Descartes. Kant mulai menelaah batas-batas
kemampuan rasio, berbeda dengan dengan para pemikir Rasionalisme yang
mempercayai kemampuan rasio bulat-bulat. Namun demikian, Kant juga mempercayai
Empirisme. Walhasil dia berpandangan bahwa semua pengetahuan mulai dari pengalaman,
namun tidak berarti semua dari pengalaman. Obyek luar ditangkap oleh indera,
tetapi rasio mengorganisasikan bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman
tersebut.
Empirisme itu sendiri pada abad XIX
dan XX berkembang lebih jauh menjadi beberapa aliran yang berbeda, yaitu
Positivisme, Materialisme, dan Pragmatisme.
Positivisme dirintis oleh August Comte
(1798-1857), yang dianggap sebagai Bapak ilmu Sosiologi Barat. Positivisme
sebagai perkembangan Empirisme yang ekstrim, adalah pandangan yang menganggap
bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah “data-data yang
nyata/empirik”, atau yang mereka namakan positif. Nilai-nilai politik dan
sosial menurut Positivisme dapat digeneralisasikan berdasarkan fakta-fakta yang
diperoleh dari penyelidikan terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri.
Nilai-nilai politik dan sosial juga dapat dijelaskan secara ilmiah, dengan
mengemukakan perubahan historis atas dasar cara berpikir induktif. Jadi,
nilai-nilai tersebut tumbuh dan berkembang dalam suatu proses kehidupan dari
suatu masyarakat itu sendiri.
Materialisme adalah aliran yang
menganggap bahwa asal atau hakikat segala sesuatu adalah materi. Di antara
tokohnya ialah Feuerbach (1804-1872), Karl Marx (1818-1883) dan Fredericht
Engels (1820-1895). Karl Marx menerima konsep Dialektika Hegel, tetapi tidak
dalam bentuk aslinya (Dialektika Ide). Kemudian dengan mengambil
Materialisme dari Feuerbach, Karl Marx lalu mengubah Dialektika Ide menjadi
Dialektika Materialisme, sebuah proses kemajuan dari kontradiksi-kontradiksi
tesis-antitesis-sintesis yang sudah diujudkan dalam dunia materi. Dialektika
Materialisme lalu digunakan sebagai alat interpretasi terhadap sejarah manusia
dan perkembangannya. Interpretasi inilah yang disebut sebagai Historis
Materialisme, yang menjadi dasar ideologi Sosialisme-Komunisme (Marxisme).
Pragmatisme dianggap juga salah satu
aliran yang berpangkal pada Empirisme, kendatipun ada pula pengaruh Idealisme
Jerman (Hegel) pada John Dewey, seorang tokoh Pragmatisme yang dianggap pemikir
paling berpengaruh pada zamannya. Selain John Dewey, tokoh Pragmatisme lainnya
adalah Charles Pierce dan William James. Pembahasan tentang Pragmatisme akan
diuraikan lebih rinci pada keterangan selanjutnya pada poin berikut.
b. Arti Pragmatisme
Istilah Pragmatisme berasal dari
kata Yunani pragma yang berarti perbuatan (action) atau tindakan (practice).
Isme di sini sama artinya dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti aliran atau
ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang
menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan.
Pragmatisme memandang bahwa kriteria
kebenaran ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis
dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain,
suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it works).
Dengan demikian Pragmatisme dapat
dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori kebenaran (theory of truth),
sebagaimana yang nampak menonjol dalam pandangan William James, terutama dalam
bukunya The Meaning of The Truth (1909).
Kebenaran menurut James adalah sesuatu
yang terjadi pada ide, yang sifatnya tidak pasti. Sebelum seseorang menemukan
satu teori berfungsi, tidak diketahui kebenaran teori itu. Atas dasar itu,
kebenaran itu bukan sesuatu yang statis atau tidak berubah, melainkan tumbuh
dan berkembang dari waktu ke waktu. Kebenaran akan selalu berubah, sejalan
dengan perkembangan pengalaman, karena yang dikatakan benar dapat dikoreksi
oleh pengalaman berikutnya.
Dalam The Meaning of The Truth (1909), James
menjelaskan metode berpikir yang mendasari pandangannya di atas. Dia
mengartikan kebenaran itu harus mengandung tiga aspek. Pertama, kebenaran itu
merupakan suatu postulat, yakni semua hal yang di satu sisi dapat ditentukan
dan ditemukan berdasarkan pengalaman, sedang di sisi lain, siap diuji dengan
perdebatan atau diskusi.Kedua, kebenaran merupakan suatu pernyataan fakta,
artinya ada sangkut pautnya dengan pengalaman. Ketiga, kebenaran itu merupakan
kesimpulan yang telah diperumum (digeneralisasikan) dari pernyataan fakta.
James, dengan demikian, dapat dilihat
sebagai penganjur Empirisme dengan cara berpikir induktif. Menurut James,
pemikir Rasionalis adalah orang yang bekerja dan menyelidiki sesuatu secara
deduktif, dari yang menyeluruh ke bagian-bagian. Rasionalis berusaha mendeduksi
yang umum ke yang khusus, mendeduksi fakta dari prinsip. Sedang pemikir
Empirisme, berangkat dari fakta yang khusus (partikular) kepada kesimpulan umum
yang menyeluruh. Seorang Empiris membuat generalisasi dari induksi terhadap
fakta-fakta partikular.
Tetapi Empirisme James adalah
Empirisme Radikal, berbeda dengan empirisme tradisional yang kurang
memperhatikan hubungan-hubungan antar fakta. Empirisme radikal melihat bahwa
hubungan yang mempertautkan pengalaman-pengalaman, harus merupakan hubungan yang
dialami.
Pragmatisme yang diserukan oleh James
ini –yang juga disebut Practicalisme– , sebenarnya merupakan perkembangan dan
olahan lebih jauh dari Pragmatisme Peirce. Hanya saja, Peirce lebih menekankan
penerapan Pragmatisme ke dalam bahasa, yaitu untuk menerangkan arti-arti
kalimat sehingga diperoleh kejelasan konsep dan pembedaannya dengan konsep
lain. Dia menggunakan pendekatan matematik dan logika simbol (bahasa), berbeda
dengan James yang menggunakan pendekatan psikologi. Dalam memahami kemajemukan
kebenaran (pernyataan), Peirce membagi kebenaran menjadi dua. Pertama adalah
Trancendental Truth, yaitu kebenaran yang bermukim pada benda itu sendiri. Yang
kedua adalah Complex Truth, yaitu kebenaran dalam pernyataan. Kebenaran jenis
ini dibagi lagi menjadi kebenaran etis atau psikologis, yaitu keselarasan
pernyataan dengan apa yang diimani si pembicara, dan kebenaran logis atau
literal, yaitu keselarasan pernyataan dengan realitas yang didefinisikan. Semua
kebenaran pernyataan ini, harus diuji dengan konsekuensi praktisnya melalui
pengalaman.
John Dewey mengembangkan lebih jauh
mengembangkan Pragmatisme James. Jika James mengembangkan Pragmatisme untuk
memecahkan masalah-masalah individu, maka Dewey mengembangkan Pragmatisme dalam
rangka mengarahkan kegiatan intelektual untuk mengatasi masalah sosial yang
timbul di awal abad ini. Dewey menggunakan pendekatan biologis dan psikologis,
berbeda dengan James yang tidak menggunakan pendekatan biologis. Dewey
menerapkan Pragmatismenya dalam dunia pendidikan Amerika dengan mengembangkan
suatu teori problem solving, yang mempunyai langkah-langkah sebagai berikut :
- Merasakan
adanya masalah.
- Menganalisis
masalah itu, dan menyusun hipotesis-hipotesis yang mungkin.
- Mengumpulkan
data untuk memperjelas masalah.
- Memilih
dan menganalisis hipotesis.
- Menguji,
mencoba, dan membuktikan hipotesis dengan melakukan eksperimen/pengujian.
Meskipun berbeda-beda penekanannya,
tetapi ketiga pemikir utama Pragmatisme menganut garis yang sama, yakni
kebenaran suatu ide harus dibuktikan dengan pengalaman. Demikianlah Pragmatisme
berkhotbah dan menggurui dunia, bahwa yang benar itu hanyalah yang mempengaruhi
hidup manusia serta yang berguna dalam praktik dan dapat memenuhi kebutuhan
manusia.
C. Kritik Terhadap
Pragmatisme
Kekeliruan Pragmatisme dapat
dibuktikan dalam tiga tataran pemikiran :
1.
Kritik dari segi landasan ideologi Pragmatisme
Pragmatisme
dilandaskan pada pemikiran dasar (Aqidah) pemisahan agama dari kehidupan
(sekularisme). Hal ini nampak dari perkembangan historis kemunculan Pragmatisme,
yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari Empirisme. Dengan demikian, dalam
konteks ideologis, Pragmatisme berarti menolak agama sebagai sumber ilmu
pengetahuan.
Aqidah pemisahan
agama dari kehidupan adalah landasan ideologi Kapitalisme. Aqidah ini,
sebenarnya bukanlah hasil proses berpikir. Bahkan, tak dapat dikatakan sebagai
pemikiran yang logis. Aqidah pemisahan agama dari kehidupan tak lain hanyalah
penyelesaian yang berkecenderungan ke arah jalan tengah atau bersikap moderat,
antara dua pemikiran yang kontradiktif. Kedua pemikiran ini, yang pertama
adalah pemikiran yang diserukan oleh tokoh-tokoh gereja di Eropa sepanjang Abad
Pertengahan (abad V – XV M), yakni keharusan menundukkan segala sesuatu urusan
dalam kehidupan menurut ketentuan agama. Sedangkan yang kedua, adalah pemikiran
sebagian pemikir dan filsuf yang mengingkari keberadaan Al Khaliq.
Jadi, pemikiran
pemisahan agama dari kehidupan merupakan jalan tengah di antara dua sisi
pemikiran tadi. Penyelesaian jalan tengah, sebenarnya mungkin saja terwujud di
antara dua pemikiran yang berbeda (tapi masih mempunyai asas yang sama). Namun
penyelesaian seperti itu tak mungkin terwujud di antara dua pemikiran yang
kontradiktif. Sebab dalam hal ini hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama, ialah
mengakui keberadaan Al Khaliq yang menciptakan manusia, alam semesta, dan
kehidupan. Dan dari sinilah dibahas, apakah Al Khaliq telah menentukan suatu
peraturan tertentu lalu manusia diwajibkan untuk melaksanakannya dalam
kehidupan, dan apakah Al Khaliq akan menghisab manusia setelah mati mengenai
keterikatannya terhadap peraturan Al Khaliq ini.
Sedang yang
kedua, ialah mengingkari keberadaan Al Khaliq. Dan dari sinilah dapat dicapai
suatu kesimpulan, bahwa agama tidak perlu lagi dipisahkan dari kehidupan, tapi
bahkan harus dibuang dari kehidupan.Adapun pendapat yang mengatakan bahwa
keberadaan Al Khaliq tidaklah lebih penting daripada ketiadaan-Nya, maka ini
adalah suatu ide yang tidak memuaskan akal dan tidak menenteramkan jiwa.
Jadi, berdasarkan
fakta bahwa aqidah Kapitalisme adalah jalan tengah di antara
pemikiran-pemikiran kontradiktif yang mustahil diselesaikan dengan jalan
tengah, maka sudah cukuplah bagi kita untuk mengkritik dan membatalkan aqidah
ini. Tak ada bedanya apakah aqidah ini dianut oleh orang yang mempercayai
keberadaan Al Khaliq atau yang mengingkari keberadaan-Nya.
Tetapi dalam hal
ini dalil aqli (dalil yang berlandaskan keputusan akal) yang qath’i (yang
bersifat pasti), membuktikan bahwa Al Khaliq itu ada dan Dialah yang
menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dalil tersebut juga
membuktikan bahwa Al Khaliq ini telah menetapkan suatu peraturan bagi manusia
dalam kehidupannya, dan bahwasanya Dia akan menghisab manusia setelah mati
mengenai keterikatannya terhadap peraturan Al Khaliq tadi.
Kendatipun
demikian, di sini bukan tempatnya untuk melakukan pembahasan tentang eksistensi
Al Khaliq atau pembahasan mengenai peraturan yang ditetapkan Al Khaliq
untuk manusia. Namun yang menjadi fokus pembahasan di sini ialah aqidah Kapitalisme
itu sendiri dan penjelasan mengenai kebatilannya. Dan kebatilan Kapitalisme
cukup dibuktikan dengan menunjukkan bahwa aqidah Kapitalisme tersebut merupakan
jalan tengah antara dua pemikiran yang kontradiktif, dan bahwa aqidah tersebut
tidak dibangun atas dasar pembahasan akal.
Kritik yang
merobohkan aqidah Kapitalisme ini, sesungguhnya sudah cukup untuk merobohkan
ideologi Kapitalisme secara keseluruhan. Sebab, seluruh pemikiran cabang yang
dibangun di atas landasan yang batil –termasuk dalam hal ini Pragmatisme– pada
hakekatnya adalah batil juga.
2.
Kritik
dari segi metode pemikiran
Pragmatisme yang
tercabang dari Empirisme nampak jelas menggunakan Metode Ilmiyah (Ath Thariq Al
Ilmiyah), yang dijadikan sebagai asas berpikir untuk segala bidang pemikiran,
baik yang berkenaan dengan sains dan teknologi maupun ilmu-ilmu sosial
kemasyarakatan. Ini adalah suatu kekeliruan.
Metode Ilmiyah
adalah suatu metode tertentu untuk melakukan pembahasan/pengkajian untuk
mencapai kesimpulan pengertian mengenai hakekat materi yang dikaji, melalui
serangkaian percobaan/eksperimen yang dilakukan terhadap materi.
Memang, metode
ini merupakan metode yang benar untuk objek-objek yang bersifat nateri/fisik
seperti halnya dalam sains dan teknologi. Tetapi menjadikan Metode Ilmiyah
sebagai landasan berpikir untuk segala sesuatu pemikiran adalah suatu
kekeliruan, sebab yang seharusnya menjadi landasan pemikiran adalah Metode
Akliyah (Ath Thariq Al Aqliyah), bukan Metode Ilmiyah. Sebab, Metode Ilmiyah
itu sesungguhnya hanyalah cabang dari Metode Akliyah.
Metode Akliyah
adalah sebuah metode berpikir yang terjadi dalam proses pemahaman sesuatu
sebagaimana definisi akal itu sendiri, yaitu proses transfer realitas melalui
indera ke dalam otak, yang kemudian akan diinterpretasikan dengan sejumlah
informasi sebelumnya yang bermukim dalam otak.
Metode Akliyah
ini sesungguhnya merupakan asas bagi kelahiran Metode Ilmiyah, atau dengan kata
lain Metode Ilmiyah sesungguhnya tercabang dari Metode Akliyah. Argumen untuk
ini, sebagaimana disebutkan Taqiyuddin An Nabhani dalam At Tafkir halaman
32-33, ada dua point:
- Bahwa
untuk melaksanakan eksperimen dalam Metode Ilmiyah, tak dapat tidak pasti
dibutuhkan informasi-informasi sebelumnya. Dan informasi sebelumnya ini,
diperoleh melalui Metode Akliyah, bukan Metode Ilmiyah. Maka, Metode
Akliyah berarti menjadi dasar bagi adanya Metode Ilmiyah.
- Bahwa
Metode Ilmiyah hanya dapat mengkaji objek-objek yang bersifat
fisik/material yang dapat diindera. Dia tak dapat digunakan untuk mengkaji
objek-objek pemikiran yang tak terindera seperti sejarah, bahasa, logika,
dan hal-hal yang ghaib. Sedang Metode Akliyah, dapat mengkaji baik objek
material maupun objek pemikiran. Maka dari itu, Metode Akliyah lebih tepat
dijadikan asas berpikir, sebab jangkauannya lebih luas daripada Metode
Ilmiyah.
Atas dasar dua
argumen ini, maka Metode Ilmiyah adalah cabang dari Metode Akliyah. Jadi yang
menjadi landasan bagi seluruh proses berpikir adalah Metode Akliyah, bukan
Metode Ilmiyah, sebagaimana yang terdapat dalam Pragmatisme.
3.
Kritik terhadap Pragmatisme itu sendiri
Pragmatisme
adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan kegunaan praktis yang
dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari tiga sisi. Pertama,
Pragmatisme mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan
praktisnya. Kebenaran suatu ide adalah satu hal, sedang kegunaan praktis ide
itu adalah hal lain. Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu
dengan realitas, atau dengan standar-standar yang dibangun di atas ide dasar
yang sudah diketahui kesesuaiannya dengan realitas.
Sedang kegunaan
praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia, tidak diukur dari keberhasilan
penerapan ide itu sendiri, tetapi dari kebenaran ide yang diterapkan. Maka,
kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya
menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia .
Kedua, Pragmatisme
menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide adalah aktivitas
intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedang penetapan
kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah identifikasi
instinktif. Memang identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran kepuasan
manusia dalam pemuasan hajatnya, tapi tak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah
ide. Maka, Pragmatisme berarti telah menafikan aktivitas intelektual dan
menggantinya dengan identifikasi instinktif. Atau dengan kata lain, Pragmatisme
telah menundukkan keputusan akal kepada kesimpulan yang dihasilkan dari
identifikasi instinktif .
Ketiga. Pragmatisme menimbulkan
relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan subjek penilai ide
–baik individu, kelompok, dan masyarakat– dan perubahan konteks waktu dan
tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat dibuktikan
–menurut Pragmatisme itu sendiri– setelah melalui pengujian kepada
seluruh manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Dan ini mustahil dan tak akan
pernah terjadi. Maka, Pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsistensi
internal yang dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri .
D. Kontradiksi
Pragmatisme Dengan Islam
Jelas sekali bahwa Pragmatisme
–sebagai standar ide dan perbuatan– sangat bertentangan dengan Islam. Sebab
Islam memandang bahwa standar perbuatan adalah halal haram, yaitu
perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Bukan kemanfaatan atau kegunaan
riil untuk memenuhi kebutuhan manusia yang dihasilkan oleh sebuah ide, ajaran,
teori, atau hipotesis.
Selain itu, Allah SWT telah
memerintahkan untuk mengikuti apa yang diturunkan-Nya, yaitu Syari’at Islam.
Allah SWT berfirman :
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu, dan janganlah kamu mengikuti wali (pemimpin/sahabat/sekutu) selainnya…”
(Al A’raaf :3)
Mafhum Mukhalafah (pengertian
kebalikan) dari ayat di atas adalah, janganlah kita mengikuti apa yang tidak
diturunkan Allah, termasuk manfaat-manfaat atau kegunaan-kegunaan yang muncul
sebagai konsekuensi dari aktivitas kita, sebab semuanya bukan termasuk apa yang
diturunkan Allah.
Allah SWT juga telah berfirman :
“Apa yang diberikan oleh Rasul kepadamu, maka
ambillah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah dia…” (Al
Hasyr : 7)
Mafhum Mukhalafah ayat ini adalah,
janganlah kita mengambil apa saja (pandangan hidup) yang tidak berasal dari
Rasul, termasuk ide Pragmatisme. Ide ini tidak berasal dari Muhammad Rasulullah
saw, tetapi dari orang-orang kafir yang berasal dari Eropa dan Amerika.
Jelas, bahwa Pragmatisme bertentangan
dengan Islam. Sebab ukuran perbuatan dalam Islam adalah perintah dan larangan
Allah, bukan manfaat riil suatu ide untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Benar, Islam memang memperhatikan
kemanfaatan, tetapi kemanfaatan yang telah dibenarkan oleh syara’, bukan
kemanfaatan secara mutlak tanpa distandarisasi lebih dulu oleh syara’. Hal ini
karena nash-nash yang berhubungan dengan manfaat tidak dapat dipahami secara
terpisah dari nash-nash lain yang menegaskan aspek halal haram. Maka,
kemanfaatan yang diperhatikan oleh Islam adalah kemanfaatan yang dibenarkan
oleh syara’, bukan sembarang manfaat.
Jadi, ketika dinyatakan bahwa standar
perbuatan adalah syara’, dan bukan manfaat, maka hal ini tidak berarti bahwa
Islam menafikan aspek kemanfaatan. Tetapi maknanya adalah, manfaat itu bukan
standar kebenaran untuk ide atau perbuatan manusia. Sedang kemanfaatan yang
dibenarkan Islam, yakni yang telah diukur dan ditakar dengan standar halal
haram, maka itu adalah manfaat yang yang dapat diambil oleh manusia sesuai
kehendaknya.
E.
Konsep-Konsep dalam Filsafat
Pragmatisme
a.
Konsep Realitas
Realitas merupakan interaksi antara manusia dengan lingkungannya.
Dalam pragmatisme manusia dipandang sebagai makhluk fisik sebagai hasil evolusi
biologis, sosial dan psikologis karena manusa dalam keadaan terus berkembang.
Manusia secara mendasar selalu berubah-ubah. Seorang anak akan terus tumbuh dan
akan mempelajari hidup dalam komunitasnya, menyesuaikan terhadap kebutuhan dan
aspirasi masyarakat.
b.
Konsep Pengetahuan
1.
Pragmatisme berkeyakinan bahwa akal
manusia itu selalu aktif ingin meneliti, kritis terhadap pandangan yang belum
dibuktikan kebenarannya. Aliran ini menyatakan bahwa tujuan semua berpikir
adalah kemajuan hidup. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang berguna. Untuk
menyusun teori-teori, menurut Dewey, konsep secara eksperimental dalam
memecahkan masalah harus melalui 5 tahapan.
1. Timulnya situasi ketegangan (inderteminate situation)
2. Upaya mempertajam masalah sampai pada menentukan faktor penyebab
timbulnya masalah (Diagnosis)
3. Upaya menemukan gagasan
yang dapat mengatasi masalah dengan mengumpulkan informasi (Hypothesis)
4. Pelaksanaan berbagai hipotesis yang paling relevan secara teori
(Hypothesis testing)
5. Mempertimbangkan hasil setelah hipotesis terbaik dilaksanakan
(Evaluation)
c.
Konsep Nilai
Dalam pandangan pragmatisme, nilai adalah relatif. Kaidah moral
dan etik selalu berubah. Kita harus mempertimbangkan perbuatan manusia dengan
tidak memihak dan secara ilmiah memiliki nilai yang memungkinkan untuk
memecahkan masalah. Nilai lahir dari keinginan, dorongan dan perasaan serta
kebiasaan manusia. Nilai merupakan suatu realitas dalam kehidupan yang dapat
dimengerti sebagai wujud perilaku manusia. Suatu perilaku, pengetahuan atau ide
dikatakan benar bila mengandung kebaikan dan bermanfaat bagi manusia. Barnadib
(2002) mengatakan bahwa pragmatisme adalah ajaran yang dipandang sebagai
filsafat Amerika asli, di dalamnya terdapat konsep-konsep filsafat dan
konsep-konsep pendidikan, yang secara terperinci.
F.
KONSEP-KONSEP FILSAFAT PENDIDIKAN
1.
Metafisika (hakekat kenyataan)
o Anti metafisika. Suatu teori umum tentang kenyataan tidaklah
mungkin dan juga tidak perlu.
o Kenyataan yang sebenarnya adalah kenyataan fisik.
o Segala sesuatu dalam alam dan kehidupan adalah berubah (becoming).
o Hakikat segala sesuatu adalah perubahan itu sendiri
o Hidup adalah sebagai proses pembaharuan diri sendiri yang terus
berlangsung dalam interaksi dengan lingkungan
2.
Pengaruh Pragmatisme Dalam Pendidika
Dalam pragmatisme,suasana demokratis sangat di
perlukan,dan bukanlah suasana yang oteriter
atau laises faire.demokrasi
perkembang karna warga-warga memiliki kebenaran.masyarakat yang
terbina secara demokratis berarti
adanya partisipasi dari
warga-warga masyarakat untuk menyumbangkan pikiran,ide-ide,dan tindakan yang
terbaik bagi kehidupan yang sejahtera,tentram dan damai.
Dengan
berlandaskan pada pemikiran-pemikiran tersebut , pendidik mempunyai
Peranan meratakan (levelling) terhadap
masyarakat .Pendidik dapat mengangkat tiap individu dengan pemilihan
pengetahuan tertentu,juga ketrampilan-ketrampilan yang ia sukai.Selanjutnya
sebagai telah diikuti pendidikan,individu yang bersangkutan mampu megadakan
penyusuaian diri (sosialisasi).Dengan penyusuaian diri dapat berperan secara
fungsional dalam masyarakat.
3. Tujuan pendidikan pragmatisme
Ø Megarah kepada pengetahuan tentang linkungan
sekitarnya,dan membentuk lingkungan tersebut bermanfaat bagi dirinya dan bagi kehidupan
sosial secara praktis.
Ø Pendidikan adalah hidup, pertumbuh-an sepanjang hidup, proses
rekon-struksi yang berlangsung terus dari pengalaman yang terakumulasi dan
sebuah proses sosial.
Ø Tujuan pendidikan adalah mempero-leh pengalaman yang berguna untuk
memecahkan masalah-masalah baru dalam kehidupan perseorangan dan bermasyarakat.
Ø Tujuan pendidikan tidak ditentukan dari luar kegiatan pendidikan,
tetapi terdapat dalam setiap proses pendidikan. Oleh karena itu tidak ada
tujuan umum pendidikan atau tujuan akhir pendidikan.
4. siswa
Siswa di angap suatu organisme yang luar biasa
yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan perkembang sebagai makhluk sosial dan
biologis
5. guru
Guru berperan sebagai pengawas dan pembimbing pengalaman pelajar siswa tanpa
campur tangan yang terlampau dalam terhadap minat dan kebutuhan siswa.
6. kurikulum
Isi kurikulum di uji dengan pengalaman,yaitu subjek yang selalu berubah.
Isi kurikulum di sesuaikan dengan minat dan kebutuhan para siswa.
7. metode
Mempertimbangkan metode-metode yang
menekankan pada aktivitas siswa,yaitu belajar dengan bekerja (learning by doing ).
implikasi
Mengajar dengan menekankan pada keaktifan dan
kreativitas anak.pelajaran di sekolah haruslah bertolak dari problema dalam
kehidupan yang perlu di pecahkan.metode ini juga di laksanakan di
sekolah-sekolah indonesia,dengan menggunakan pendekatan secara belajar siswa
aktif.
8.
Epistimologi (hakekat pengetahuan)
Ø Pengetahuan adalah relatif dan terus berkembang. Pengetahuan yang
benar diperoleh melalui pengalaman.
9.
Isi Pendidikan atau Kurikulum
Ø Kurikulum berisi pengalaman-penga-laman yang telah teruji serta
minat-minat kebutuhan-kebutuhan anak. Hal yang terakhir yang menyebabkan
perlunya sekolah membuat kuriku-lum darurat untuk memenuhi minat dan kebutuhan
anak.
Ø Pendidikan liberal yang menghu-bungkan pemisahan antara
pendidik-an umum dengan pendidikan praktis/ vokasional
10. Karakteristik pengalaman:
a.
Pengalaman pertama merupakan suatu
peristiwa pasif
b.
Pengukuran nilai suatu pengalaman
terletak pada persepsi hubungan atau kontinuitas-kontinuitas yang menye-babkan
pengalaman tersebut meningkat.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pragmatisme adalah ajaran yang memberi suatu
sumbangan besar terhadap teori pendidikan. Menurut pragmatisme pendidikan bukan
merupakan suatu proses pembentukan dari luar dan juga bukan suatu pemerkahan
kekuatan-kekuatan laten dengan sendirinya, baik anak maupun orang dewasa selalu
belajar dari pengalamannya. Pendidikan pragmatisme menolak segala bentuk
formalisme yang berlebihan dan akan membosankan seperti dalam pendidikan
sekolah yang tradisional. Siswa harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat
tidak hanya menerima pengetahuan dari guru saja, melainkan guru menciptakan
suasana agar siswa selalu haus akan pengetahuan.
B. SARAN
Demi
kesempurnaan makalah penulis sangat mengharap kan kepad para pembaca agar
sudikiranya memberikan Kritik dan saran sehingga dapat disempurnakan di
kemudian hari, demikian yang dapat penulis sampaikan kepada pembaca lebih dan
kurang penulis mohon maaf.
DAFTAR PUSTAKA
Barnadib, Imam. 2002. Filsafat
Pendidikan, Sistem dan Metode. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Ilmu
Pendidikan (FIP) IKIP Yogyakarta.
Kattsoff, Louis. 1992. Pengantar Filsafat. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Mudyahardjo, Redja. 2004. Filsafat Ilmu Pendidikan.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Praja, Juhaya S. 2003. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika.
Jakarta: Prenada Media
Amri,Amsal. Studi filsafat pendidikan. Yayasan Pena.
Banda aceh: 2007
lanjutkan ke