A. Gambaran
Transportasi di Indonesia
Pergerakan ekonomi, jaringan distribusi dan
sistem logistik barang dan jasa di Indonesia masih sangat tergantung pada
sistem jalan raya. Demikian juga pergerakan penumpang intra dan antar wilayah.
Awal tahun 1999, mobilitas ekonomi di seluruh Indonesia tergambar dalam tingkat
utilisasi jalan nasional dan jalan provinsi sebesar 664,6 juta penumpang-km dan
144 juta ton-km per-hari, suatu peningkatan masing-masing 21 % dan 6,7 %
dibanding tahun sebelumnya. Oleh karena itu sistem jaringan transportasi yang
stabil dan handal sangat menentukan efisiensi perekonomian.
Di bidang transportasi darat, kerusakan jalan
akan menyebabkan timbulnya biaya ekonomi dan biaya sosial yang besar. Namun
selama krisis ekonomi ini, dapat dikatakan kondisi jaringan jalan nasional berada
dalam kondisi kritis, selain karena kurangnya anggaran melalui APBN, juga
karena sejak sebelum krisis pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan pelaksanaan
pembangunan jalan yang berkualitas belum prima. Pada awal tahun 1999/2000,
sekitar 13 % jalan nasional, 29 % jalan provinsi, dan 58 % jalan kabupaten
berada dalam kondisi rusak ringan dan berat. Ini berarti dari sekitar 256.951
km total panjang jaringan jalan sekitar separuhnya berada dalam keadaan rusak
ringan dan berat. Konstruksi jalan yang rusak jauh sebelum waktu ekonominya
habis telah menyebabkan kerugian biaya ekonomi sosial yang amat besar bagi
pemerintah dan masyarakat. Program pemeliharaan dan peningkatan untuk menekan
angka kerusakan sampai dengan 0 %, 21 %, dan 50 % masing-masing untuk jalan nasional,
provinsi dan kabupaten pada tahun anggaran 1999/2000 saja telah menghabiskan
biaya sekitar Rp. 5,6 triliun. Itupun hanya menurunkan tingkat kerusakan total
jaringan dari 50 % ke 42 %. Sementara itu, kombinasi dari inefisiensi
manajemen, kurangnya kualitas pengawasan dan pelaksanaan, serta overloading telah
menyusutkan secara sangat berarti umur pelayanan jalan. Dari segi sarana
transportasi darat, terjadi penurunan jumlah armada operasi yang disebabkan
oleh kenaikan harga suku cadang, kenaikan biaya modal yang diakibatkan kenaikan
suku bunga karena kenaikan kurs dollar serta persaingan dengan moda
transportasi lain (terutama transportasi udara), sehingga menyebabkan biaya
operasi kendaraan menjadi tinggi, sedangkan kenaikan tarif relatif rendah,
karena daya beli masyarakat yang rendah.
Selain itu, kualitas pelayanan menjadi sangat
rendah, sehingga banyak kendaraan umum yang sebenarnya tidak layak beroperasi,
tetap dioperasikan. Dari segi lingkungan juga akan sangat mengganggu karena
polusi udara dari gas buang yang tidak memenuhi persyaratan. Padahal persyaratan
lingkungan akan menjadi salah satu persyaratan internasional, apakah suatu kota
layak dikunjungi. Subsidi angkutan umum memerlukan biaya yang tinggi, padahal
kondisi keuangan pemerintah saat ini juga dalam keadaan kritis. Pengguna jasa
angkutan kereta api saat ini mengalami kenaikan yang sangat tinggi, tetapi ini
belum diimbangi dengan peningkatan pengembangan jaringan dan teknologi
perkeretaapian yang sesuai serta sumber daya manusia yang mencukupi, sehingga
sering terjadi gangguan kecelakaan yang fatal. Pembangunan jalur ganda
diharapkan dapat meningkatkan kinerja kereta api dan mengurangi kecelakaan.
Lain daripada itu, dimungkinkan pengoperasian kereta api jarak pendek dan
menengah. Jaringan jalan kereta api saat ini masih terbatas di Pulau Jawa dan Sumatera,
dengan kemungkinan pengembangan di Kalimantan dan Sulawesi, terutama untuk
angkutan barang.
Pelayanan angkutan penyeberangan saat ini sudah
semakin diperluas. Pada awalnya angkutan ini ditujukan sebagai penghubung antar
pulau sebagai pengganti jembatan. Namun perkembangannya jauh lebih pesat, tidak
hanya sebagai pengganti jembatan dalam arti jarak pendek, tetapi telah melayani
angkutan antar pulau dengan jarak relatif jauh. Akan tetapi, dengan semakin
jauhnya jarak angkutan penyeberangan ini, harus pula diikuti dengan peningkatan
kualitas, terutama dari segi keselamatan.
Untuk pelayanan angkutan laut, berkenaan dengan
lemahnya daya saing perusahaan pelayaran nasional, maka pangsa pasar armada
pelayaran nasional relatif kecil, yaitu 46,4 % untuk angkutan dalam negeri dan
3,65 % untuk angkutan luar negeri. Lemahnya daya saing pelayaran nasional
antara lain disebabkan karena ukuran armada yang relatif kecil, umur yang lebih
tua dibanding amada asing serta lemahnya dukungan finansial untuk usaha pelayaran.
Untuk
pelayanan udara, kenaikan kurs dollar pada saat krisis ekonomi menyebabkan
kenaikan biaya operasional perusahaan penerbangan yang cukup tinggi, karena 80
% biaya operasional perusahaan penerbangan adalah dalam bentuk US$. Turunnya
kemampuan keuangan perusahaan dan pengelola angkutan udara menyebabkan
perusahan penerbangan mengurangi jumlah pesawat yang dioperasikan dan penutupan
bandara-bandara perintis. Ini juga menyebabkan pemutusan hubungan kerja, yang
menyebabkan kenaikan jumlah pengangguran. Pasca krisis ekonomi, angkutan udara
mulai menapak naik kembali. Akan tetapi, persaingan tarif yang sedemikian
ketatnya menyebabkan beberapa perusahaan menurunkan kualitas pelayanan guna
memberikan tarif yang serendah-rendahnya. Ini tentunya sangat berbahaya,
terutama jika penurunan kualitas tersebut sudah menyangkut keselamatan
penumpang.
Perusahaan-perusahaan transportasi yang
merupakan Badan Usaha Milik Negara seperti DAMRI, PT Kereta Api Indonesia,
Angkutan Penyeberangan saat ini sedang dalam taraf menuju privatisasi.
Privatisasi ini diharapkan akan mendorong perusahaan-perusahaan tersebut untuk
lebih kompetitif dalam penyelenggaraan jasa transportasi, dengan tetap
mengutamakan kepentingan umum dan kepuasan pengguna jasa angkutan umum.
Untuk daerah perkotaan, masalah transportasi
yang terjadi adalah bagaimana memenuhi permintaan jumlah perjalanan yang
semakin meningkat, tanpa menimbulkan kemacetan arus lalulintas di jalan raya.
Masalahnya tidak hanya pada kemacetan lalulintas, tetapi juga pada perencanaan
sistem transportasi. Ini memerlukan suatu penanganan yang menyeluruh. Kalau
dilihat dari perkembangan transportasi perkotaan yang ada, terlepas dari krisis
ekonomi yang melibatkan Indonesia sejak tahun 1997, kendaraan pribadi (mobil
dan sepeda motor) tetap merupakan moda transportasi yang dominan, baik untuk
daerah urban maupun sub urban. Populasi pergerakan kendaraan pribadi yang
begitu besar di daerah perkotaan ditambah dengan pola angkutan umum yang masih
tradisional, menimbulkan biaya sosial yang sangat besar akibat waktu tempuh
yang terbuang percuma, pemborosan bahan bakar minyak, depresi kendaraan yang
terlalu cepat, kecelakaan lalulintas, hilangnya oportunity cost, timbulnya stress,
meningkatnya polusi udara, dan kebisingan. Hal ini sejalan dengan pembangunan
ekonomi dan makin bertumbuhnya jumlah masyarakat golongan menengah dan menengah
atas di daerah perkotaan, jauh sebelum krisis terjadi. Kenyamanan, keamanan, privacy,
fleksibilitas pergerakan dan prestise merupakan faktor-faktor utama yang menyebabkan
kendaraan pribadi tetap memiliki keunggulan sebagai moda transportasi,
khususnya di daerah urban.
Selain itu, ketertiban transportasi di
Indonesia masih sangat rendah. Tingkat kecelakaan, kematian akibat kecelakaan
dan pelanggaran lalulintas yang tinggi, bahkan menduduki peringkat atas di
dunia menunjukkan kurang sadarnya sebagian besar lapisan masyarakat terhadap
ketertiban lalulintas. Data statistik kecelakaan transportasi sepanjang tahun
2006 yang dikeluarkan Departemen Perhubungan menyebutkan, pada angkutan kereta
api tercatat sebanyak 79 kasus kecelakaan yang menelan korban meninggal dunia
sebanyak 50 orang, luka berat 71 orang sedangkan luka ringan 52 orang.
Kecelakaan di jalan raya lebih fatal lagi, jumlah korban meninggal selama tahun
2006 tersebut sebanyak 11.619 orang, sedangkan yang luka-luka 22.217 orang.
Untuk angkutan udara terjadual, meskipun tidak menelan korban jiwa, jumlah
insiden dan kecelakaan yang terjadi sebanyak 46 kasus, mulai dari pesawat yang
pecah ban, tergelincir sampai pesawat yang mendarat ke bandara yang bukan
tujuan akhirnya. Untuk angkutan laut dan penyeberangan, jumlah angka kecelakaan
sebanyak 81 kasus, termasuk kecelakaan KMP Senopati Nusantara yang merupakan
kecelakaan terburuk di tahun 2006, dengan jumlah korban dikhawatirkan melebihi
angka 400 orang (Widakdo, 2007). Tahun 2007 ini diawali dengan kecelakaan fatal
dari pesawat Adam Air dan kereta api Bengawan yang terjun ke sungai, yang
menambah suramnya statistik kecelakaan transportasi di Indonesia. Sebenarnya, prosedur
keselamatan transportasi dan peraturan-peraturan tentang keselamatan
transportasi sudah ada di negara kita, hanya penerapannya yang belum dapat
dilaksanakan secara konsekuen.
B. Perencanaan
yang didasarkan Analisis
Dalam suatu perencanaan, agar didapatkan hasil
yang baik dan dapat dipertanggung jawabkan, diperlukan analisis yang
komprehensif dan pendekatan secara sistemik. Perencanaan transportasi sebaiknya
didasarkan pada analisis dengan didasarkan pemodelan transportasi.
Pertama-tama, yang diperlukan adalah pengumpulan data yang akurat dan reliable.
Salah satu kelemahan dari perencanaan transportasi
di Indonesia adalah dalam hal pengumpulan data sebagai dasar analisis (Munawar,
1999). Dari data yang terkumpul tersebut, kemudian dirancang suatu model
transportrasi. Model didefinisikan sesuatu yang dapat menggambarkan keadaan
yang ada di lapangan (Munawar, 2005). Model memiliki berbagai macam jenis,
seperti berikut ini.
1.
Model verbal, yakni model yang menggambarkan
keadaan yang ada dalam bentuk kalimat. Misalnya “suatu kota yang
dipenuhi dengan pepohonan yang rindang dengan sungai yang mengalir dan
taman-taman yang indah”.
2.
Model fisik, yakni model yang menggambarkan
keadaan yang ada dengan ukuran yang lebih kecil. Misalnya model bendungan,
model saluran, model jembatan, maket bangunan.
3.
Model matematis adalah model yang menggambarkan
keadaan yang ada dalam bentuk persamaan-persamaan matematis. Model inilah yang
dipakai pada perencanaan transportasi. Misalnya jumlah lalulintas yang
sebanding dengan jumlah penduduk.
Model matematis transportasi dapat dijabarkan
dalam bentuk-bentuk berikut ini.
1.
Deskriptif, yang menjelaskan keadaan yang ada,
atau keadaan jika dilakukan suatu perubahan terhadap keadaan yang ada.
2.
Prediktif, yang meramalkan keadaan yang akan
datang.
3.
Planning, yang meramalkan keadaan yang akan datang
disertai dengan rencana-rencana perubahannya.
Dalam perencanaan transportasi dikenal adanya
konsep dasar pemodelan transportasi, yang disebut Model Empat Langkah atau four
step model, yakni Model Bangkitan Perjalanan (Trip Generation Model),
Model Distribusi Perjalanan (Trip Distribution Model), Model Pemilihan
Jenis Kendaraan/Moda (Modal Split) dan Model Pemilihan rute perjalanan (Traffic
Assignment).
Model bangkitan perjalanan berkaitan dengan
asal atau tujuan perjalanan, yang berarti menghitung yang masuk atau yang
keluar dari/ke suatu kawasan/zona. Model ini hanya menghitung seberapa besar
perjalanan yang masuk tanpa perlu mengetahui.
asalnya atau sebaliknya, seberapa besar
perjalanan yang keluar tanpa perlu mengetahui tujuannya.
Model distribusi perjalanan merupakan bagian
perencanaan transportasi yang berhubungan dengan sejumlah asal perjalanan yang
ada pada setiap zona dari wilayah yang diamati dengan sejumlah tujuan
perjalanan yang beralokasi dalam zona lain dalam wilayah tersebut. Rumus-rumus
umum matematik dari model trip distribution terdiri dari berbagai model
faktor pertumbuhan seperti Gravity Model, serta beberapa Opportunities
Model (Ortuzar dan Willumsen, 1994). Dalam langkah ini, tata guna
lahan akan sangat mempengaruhi atraktifitas dari suatu daerah. Perubahan tata
guna lahan di suatu daerah, akan dapat merubah distribusi arus lalulintas ke
daerah tersebut secara signifikan. Misalnya saja pengembangan suatu pusat
bisnis baru (mal, supermarket, stadion olahraga), akan sangat besar pengaruhnya
terhadap arus transportasi di sekitar tempat tersebut. Oleh karena itu,
perencanaan tata ruang harus direncanakan secara hati-hati. Jika sudah ada
peraturan daerah tentang tata ruang, perda tersebut harus dilaksanakan secara
konsekuen.
Model pemilihan jenis kendaraan (modal split)
digunakan untuk menghitung distribusi perjalanan beserta moda yang digunakan.
Ini dapat dilakukan apabila tersedia pelbagai macam kendaraan/moda yang menuju
tempat tujuan, seperti kendaraan pribadi (misalnya mobil, sepeda motor,
sepeda), serta angkutan umum (becak, bus, kereta api).
Dasar pemilihan moda adalah :
1.
Perjalanan, yang berkaitan dengan waktu, maksud
perjalanan, dan jarak.
a.
Pada jalan raya, dapat digunakan untuk jarak
yang relatif lebih pendek hingga menengah, biaya relatif lebih murah untuk
jarak perjalanan yang pendek.
b.
Pada jalan rel, biasanya digunakan untuk jarak
menengah dan jauh dengan biaya yang lebih murah.
c.
Pada kapal/feri, digunakan untuk jarak menengah
– jauh.
d.
Pada pesawat, digunakan untuk jarak jauh.
2.
Pelaku
perjalanan, yang dipengaruhi oleh income (pendapatan), car ownership (kepemilikan
kendaraan), social standing, dan kepadatan perumahan.
3.
Sistem Transportasi, yang dipengaruhi oleh
perbedaan waktau tempuh, tingkat pelayanan, dan biaya.
Jika diinginkan agar sebagian besar pengguna
jalan menggunakan angkutan umum, maka harus direncanakan agar angkutan umum
menjadi lebih menarik dan tetap menjadi pilihan utama walaupun seseorang telah
memiliki kendaraan pribadi.
Langkah terakhir model permintaan sekuensial
adalah pilihan pelaku perjalanan terhadap jalur antara sepasang zona dengan
suatu moda perjalanan tertentu dan dengan hasil aliran vehicular pada
jaringan transportasi multimoda. Langkah ini dapat dilihat sebagai model
keseimbangan antara permintaan perjalanan yang diperkirakan dalam proses
terdahulu dan penawaran transportasi yang diberikan dalam hal ini penyediaan
fasilitas fisiknya dan frekuensi pelayanan yang disiapkan.
Beberapa contoh program pemodelan adalah
sebagai berikut ini.
1. TFTP (Teacher
Friendly Transportation Program)
TFTP (Teacher Friendly Transportation
Program) adalah alat untuk menyusun perencanaan transportasi yang
dikembangkan oleh Hammerslag (1997) dari Belanda. Data input yang digunakan
adalah data jaringan jalan, jumlah lapangan kerja dan jumlah pekerja untuk
masing-masing zona serta beberapa input parameter yang ditentukan.
Total generalised
time antara pasangan titik asal dan tujuan dihitung berdasarkan jaringan
jalan yang ada, sehingga nantinya akan menentukan total arus yang akan lewat.
Dalam TFTP ini, interaksi asal dan tujuan (origin
– destination) diimplementasikan dalam bentuk sistem tata guna lahan, yakni
sejumlah pekerja yang bertempat tinggal (working residence) dengan
sejumlah lapangan pekerjaan (jobs) untuk setiap zona. Interaksi antara
lapangan pekerjaan dengan tempat tinggal orang-orang yang bekerja ini untuk
keseluruhan zona akan menghasilkan pola perjalanan. Produk akhir sistem tata
guna lahan ini adalah interaksi sejumlah bangkitan dan tarikan perjalanan
terhadap semua zona.
Secara keseluruhan, program TFTP ini memiliki
kemudahan aplikasi karena bersifat sebagai alat studi. Namun program ini juga
sangat terbatas, karena hanya mampu menampung jumlah node yang sedikit
(99 nodes). Tata cara perhitungan sudah terprogram dan tidak bisa
dirubah berdasar program sendiri.
2. EMME/2
EMME-2 adalah akronim dari equilibre
multimodal, multimodal equilibrium. Program ini dibuat dan dikembangkan di
Kanada, dengan kemampuan yang sudah sangat tinggi, dengan jumlah node dan
link yang dapat dikatakan tidak terbatas (mampu mencapai hampir 1 juta node).
Keunggulan lainnya adalah formula yang dapat dibuat sendiri sesuai keadaan dan
kebutuhan (INRO Consultants Inc., 1998). Misalnya hitungan kapasitas dan
waktu tempuh yang disesuaikan dengan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI)
1997 (Munawar, 2005).
Analisis-analisis pemodelan inilah yang menjadi
dasar untuk perencanaan transportasi. Akan tetapi, banyak perencanaan sistem
transportasi di Indonesia yang didasarkan pada “perkiraan-perkiraan” saja, tanpa
didasarkan analisis. Lebih-lebih jika sudah ada intervensi dari pihak-pihak
yang berkuasa terhadap perencanaan sistem jaringan transportasi tersebut.
C. Transportasi
Perkotaan
Permasalahan transportasi perkotaan umumnya
meliputi kemacetan lalulintas, parkir, angkutan umum, polusi dan masalah
ketertiban lalulintas (Munawar, 2004). Kemacetan lalulintas akan selalu
menimbulkan dampak negatif, baik terhadap pengemudinya sendiri maupun ditinjau
dari segi ekonomi dan lingkungan. Bagi pengemudi kendaraan, kemacetan akan
menimbulkan ketegangan (stress). Selain itu juga akan menimbulkan dampak
negatif ditinjau dari segi ekonomi yang berupa kehilangan waktu karena waktu
perjalanan yang lama serta bertambahnya biaya operasi kendaraan (bensin,
perawatan mesin) karena seringnya kendaraan berhenti. Selain itu, timbul pula
dampak negatif terhadap lingkungan yang berupa peningkatan polusi udara karena
gas racun CO serta peningkatan gangguan suara kendaraan (kebisingan). Pedal rem
dan gas yang silih berganti digunakan akan menyebabkan penambahan polusi udara
serta kebisingan karena deru suara kendaraan. Kemudian untuk menghilangkan stress,
para pengemudi akan lebih sering menggunakan klakson sehingga menimbulkan
kebisingan.
Masalah transportasi perkotaan yang lain adalah
masalah parkir. Masalah ini tidak hanya terbatas di kota-kota besar saja. Tidak
ada fasilitas parkir di dekat pasar-pasar. Beberapa supermarket hanya mempunyai
tempat parkir yang begitu sempit, yang hanya dapat menampung beberapa kendaraan
roda empat saja. Beberapa gedung pertunjukan/gedung bioskop bahkan tidak
mempunyai fasilitas parkir untuk kendaraan roda empat.
Masalah lain yang tak kalah pentingnya ialah
fasilitas angkutan umum. Angkutan umum perkotaan, yang saat ini didominasi oleh
angkutan bus dan mikrolet masih terasa kurang nyaman, kurang aman dan kurang
efisien. Angkutan massal (mass rapid transit) seperti kereta api masih
kurang berfungsi untuk angkutan umum perkotaan. Berdesak-desakan di dalam
angkutan umum sudah merupakan pandangan sehari-hari di kota-kota besar. Pemakai
jasa angkutan umum masih terbatas pada kalangan bawah dan sebagian kalangan
menengah. Orang-orang berdasi masih enggan memakai angkutan umum, karena comfortability
angkutan umum yang masih mereka anggap terlalu rendah, dibandingkan dengan
kendaraan pribadi yang begitu nyaman dengan pelayanan dari pintu ke pintu.
Sementara itu sistem angkutan umum massal (SAUM) yang modern sebagai bagian
integral dari ketahanan daya dukung kota (city survival) masih dalam
tahap rancangan dan perencanaan dan belum berada di dalam alur utama (mainstream)
kebijakan dan keputusan pemerintah dalam rangka menciptakan sistem transportasi
kota yang berimbang, efisien dan berkualitas. Belum terciptanya SAUM modern
sebagai atribut menuju kota ”metropolitan” dan oleh karenanya belum merupakan
alternatif yang patut diperhitungkan bagi pembuat. perjalanan merupakan
pembenaran dari pemakaian kendaraan pribadi okupansi rendah yang tidak efisien.
Oleh karena selama beberapa dekade belakangan ini tidak ada langkah “terobosan”
yang berarti, maka antrian dan kemacetan lalulintas yang berkepanjangan pada
setiap koridor dan pusat kota, dan sebagai akibatnya pemborosan besar-besaran
dari energi BBM serta polusi udara, akan terus menjadi menu sehari-hari dari
para pembuat perjalanan di perkotaan (urban trip makers).
Yogyakarta yang mempunyai daya tarik wisata
yang cukup tinggi akan menyebabkan banyaknya pengunjung di pusat-pusat wisata
dan pusat kota (Malioboro) yang menguntungkan dari segi perekonomian, tetapi
perlu difasilitasi dengan sarana prasarana yang memadai, termasuk sistem
transportasi yang andal. Di sisi lain, Yogyakarta akan tetap dibanjiri oleh
penduduk pendatang karena daya tariknya sebagai kota pendidikan. Resultante
dari semua itu adalah bahwa kota menjadi tempat dengan pergerakan orang dan
kendaraan makin menjadi sulit dan mahal. Biaya sosial akan menjadi bagian yang
dominan dari biaya perjalanan perkotaan (urban travel disutility),
padahal “externalities” dan “intangibles” yang lainnya tidak
pernah diperhitungkan di dalam proses perencanaan dan manajemen transportasi
kota. Ketidakberdayaan kota bukan lagi “economic assets” akan tetapi
justru menjadi “economic liability”. Dipandang dari sisi rasio jalan
dengan lahan kota, memang masih perlu membangun jaringan jalan baru, termasuk
jembatan layang, namun membangun jaringan jalan kota termasuk jalan bebas
hambatan di tengah-tengah kota bukan saja sangat mahal karena langka dan
mahalnya lahan, namun juga tidak akan menghilangkan kemacetan masif oleh karena
adanya cadangan lalulintas kendaraan yang terbangkitkan (reservoir of
traffic) yang selalu siap menunggu dan mengisi setiap jengkal kapasitas
ruang jalan yang diberikan oleh fasilitas baru tersebut dan dalam waktu singkat
membuat kemacetan baru. Perencanaan dan kebijakan transportasi kota oleh
karenanya harus berubah, yakni dari pendekatan membangun sistem prasarana (supply
side) menjadi pendekatan manajemen dan efisiensi sistem (demand side).
Paradigma baru ini berpegang kepada prinsip manajemen sistem transportasi (MST)
dan bertujuan mencari keseimbangan antara sistem angkutan umum yang mewakili
pergerakan manusia di kota dengan sistem jalan raya yang mewakili pergerakan
kendaraan pribadi. Artinya, selain sistem jaringan jalan kota yang memadai bagi
pergerakan angkutan pribadi, kota yang efisien juga harus mampu. menyediakan
sistem angkutan massal yang secara efisien dan handal mampu melakukan angkutan
orang dalam jumlah besar dan dalam waktu yang relatif singkat.
Kesemuanya ini memang memerlukan suatu
kebijakan yang dapat mendukung perkembangan angkutan umum perkotaan. Akan
tetapi, dampak sosial dan budaya dari kebijakan tersebut perlu diperhitungkan.
Sosialisasi kepada masyarakat perlu dilakukan secara terus-menerus. Aspirasi
dari setiap unsur masyarakat perlu didengar. Dampak negatif dari setiap rencana
kebijakan harus diminimalkan, bahkan kalau dapat tanpa menimbulkan dampak
negatif. Kebijakan angkutan umum harus mengakomodir aspirasi dari
operator-operator angkutan umum yang ada. Mereka harus dilibatkan secara aktif
dalam pengambilan keputusan. Suatu alternatif perbaikan bus perkotaan yang saat
ini dalam proses pelaksanaan di Yogyakarta adalah dengan merubah manajemen
pelayanan bus perkotaan menjadi sistem buy the service (Munawar, 2006).
Sistem ini akan merombak secara total system yang ada saat ini, yaitu sistem
setoran. Pengelolaan angkutan umum dilakukan secara bersama-sama antara
pemerintah dan operator yang ada. Semua pihak yang terkait dengan angkutan umum
perkotaan diikut sertakan dalam sistem yang baru tersebut, mulai dari
koperasi-koperasi, operator, crew dan juga mereka yang terlibat secara informal
pada bisnis angkutan umum perkotaan ini. Tidak ada penambahan jumlah bus
perkotaan. Operator bus yang lama diberi kesempatan untuk mengganti menjadi bus
yang baru. Biaya penggantian bus akan disubsidi oleh pemerintah. Selain
penyediaan bus dengan kualitas yang baik, juga termasuk penyediaan halte-halte
di tempat henti yang sudah ditentukan. Bus-bus dirancang khusus, dengan lantai
dasar bus agak tinggi, sehingga penumpang hanya dapat turun di halte saja.
Pembelian karcis dilakukan di halte, sehingga sopir tidak memegang uang lagi.
Sopir, satpam (untuk menjaga keamanan dalam bus dan halte) serta penjual karcis
digaji tetap (mingguan atau bulanan). Penjualan karcis dilakukan dengan mesin
tiket, sehingga dimungkinkan adanya penggunaan tiket harian, mingguan dan
bulanan bahkan pada jangka panjang dimungkinkan dikembangkan menjadi semacam smart
card, misalnya kartu atm sekaligus kartu mahasiswa dan tiket bus. Crew bus
perkotaan ini diambilkan dari crew bus perkotaan yang lama, termasuk
mereka yang ikut serta dalam bisnis angkutan umum perkotaan ini secara
informal. Standar pelayanan dan jadual perjalanan ditentukan secara tetap oleh
badan pengelola, yang terdiri dari unsur Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota,
Organda dan koperasi angkutan yang ada pada saat ini. Pengelolaan dilakukan
secara bersama-sama, dengan suatu perjanjian bersama antara pihak-pihak yang
mengelola. Jika ada kerugian, maka Pemerintah Provinsi akan menanggung kerugian
tersebut dalam bentuk subsidi. Sosialisasi sudah dilakukan kepada para crew
angkutan umum perkotaan dan disambut dengan sangat antusias. Sistem ini juga
sudah disosialisasikan kepada juru parkir dan pedagang kaki lima. Mereka tidak
menolak sistem tersebut, karena memang tidak akan berpengaruh terhadap
pekerjaan mereka. Diharapkan, perombakan sistem angkutan umum perkotaan di
Yogyakarta dapat dimulai tahun ini.
D. Keterpaduan
Multi Moda
Berdasarkan
jenis/moda kendaraan, sistem jaringan transportasi dapat dibagi atas
transportasi darat, laut dan udara. Transportasi darat terdiri dari
transportasi jalan, penyeberangan dan kereta api. Kesemua moda tersebut harus
merupakan satu kesatuan.
Keterpaduan antar moda dapat berupa keterpaduan
fisik, yaitu titik simpul pertemuan antar moda terletak dalam satu bangunan,
misalnya bandara, terminal bus dan stasiun kereta api merupakan satu bangunan
atau terletak berdekatan atau keterpaduan sistem, yaitu titik simpul dari
masing-masing moda tidak perlu pada satu bangunan, tetapi ada suatu sitem
jaringan transportasi yang menghubungkan titik simpul antar moda, sehingga
merupakan satu kesatuan yang utuh. Keterpaduan secara sistem juga menyangkut
jadual keberangkatan, pelayanan pembelian karcis serta pengelolaannya. Dengan
keterpaduan tersebut, akan memudahkan perjalanan, walaupun harus berganti moda
sampai beberapa kali. Keterpaduan antar moda juga akan meningkatkan penggunaan
angkutan umum.
E.
Pemberdayaan Masyarakat dan Daerah
Pemberdayaan masyarakat dan daerah mempunyai
tujuan agar pembangunan daerah diarahkan untuk menciptakan terwujudnya otonomi
daerah yang lebih luas, untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang baik
(demokratis, bersih, akuntabel, efektif, efisien, responsif) serta untuk
meningkatkan kompetensi dalam pelayanan masyarakat melalui pengaturan dan
pelayanan yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Pembangunan daerah di
masa depan diarahkan untuk menciptakan terwujudnya pembangunan antar daerah
yang berimbang dan berkeadilan di seluruh daerah sesuai dengan keunggulan
kompetitifnya dan setiap daerah mampu membangun wilayahnya sendiri dan mampu
dalam persaingan secara nasional dan global.
Pembangunan daerah perlu didasarkan pada asas
keseimbangan antar daerah, adanya keterkaitan antar ekonomi pedesaan dan
perkotaan melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan menguatkan keterkaitan
dengan ekonomi domestik dan global. Pembangunan daerah perlu dilaksanakan
secara bersama antara pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, organisasi
swadaya masyarakat, dan usaha swasta dalam kerangka kesetaraan peran dan
kemitraan yang sehat.
Tantangan yang dihadapi dalam mencapai tujuan
di atas adalah bagaimana meningkatkan penyediaan jaringan prasarana dan sarana
transportasi yang dapat menjamin kelancaraan arus barang dan jasa serta
penyebaran aliran investasi secara merata di seluruh daerah serta bagaimana
meningkatkan keterkaitan ekonomi antar daerah secara menguntungkan dan
meningkatkan percepatan pertumbuhan ekonomi daerah dengan pengembangan sentra
kegiatan ekonomi pendorong pertumbuhan wilayah sekitarnya.
Guna mewujudkan perencaan transportasi yang
merupakan satu kesatuan dalam lingkup nasional maupun regional, Pemerintah
Pusat, dalam hal ini Departemen Perhubungan, telah membuat konsep perencanaan
transportasi yang disebut dengan Tataran Transportasi (Departemen Perhubungan,
2005). Tataran Transportasi merupakan suatu perwujudan dari tatanan
transportasi yang terorganisasi secara kesisteman, terdiri dari semua jaringan
dan moda transportasi. Keberadaan tataran transportasi ini dilatarbelakangi
oleh adanya otonomi daerah. Secara lingkup daerah, tataran transportasi dapat
diwujudkan dalam lingkup berikut ini.
a. Dalam ruang lingkup Nasional, disebut
Tataran Transportasi Nasional (Tatranas), yang bertujuan membentuk suatu sistem
pelayanan jasa transportasi yang efektif dan efisien dan berfungsi melayani
perpindahan orang dan atau barang antar simpul atau kota nasional (SKN) dan
dari simpul atau kota nasional ke luar negeri atau sebaliknya.
b. Dalam ruang lingkup Provinsi, disebut
Tataran Transportasi Wilayah (Tatrawil), yang bertujuan membentuk suatu sistem
pelayanan jasa transportasi yang efektif dan efisien dan berfungsi melayani
perpindahan orang dan atau barang antar simpul atau kota wilayah (SKW), dan
dari simpul atau kota wilayah ke simpul atau kota nasional atau sebaliknya.
c. Dalam ruang lingkup Kabupaten/Kota, disebut
Tataran Transportasi Lokal (Tatralok), yang bertujuan membentuk suatu sistem
pelayanan jasa transportasi yang efektif dan efisien dan berfungsi melayani
perpindahan orang dan atau barang antar simpul atau kota lokal (SKL), dan dari
simpul lokal ke simpul wilayah dan simpul nasional terdekat atau sebaliknya,
dan dalam kota.
Dalam pelaksanaannya, ketiga Tataran
Transportasi tersebut diharapkan dapat dikembangkan secara terpadu dengan
memperjelas dan mengharmoniskan peran masing-masing instansi pemerintah baik di
pusat maupun di daerah yang terlibat di bidang pengaturan, administrasi dan
penegakan hukum, berdasarkan asas dekonsentrasi dan desentralisasi, menentukan
bentuk koordinasi dan konsultasi termasuk mekanisme hubungan kerja antar
instansi pemerintah baik di pusat, daerah, penyelenggara dan pemakai jasa
transportasi, serta meningkatkan keterpaduan perencanaan antara pemerintah,
pemerintah Provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam berbagai aspek.
F. Kerjasama
antar Negara
Di negara yang telah maju seperti di sebagian
besar negara-negara Eropa, telah dilaksanakan kerjasama antar negara dalam
berbagai bidang, khususnya transportasi. Dengan kerjasama ini sistem jaringan
jalan tertata dengan baik, menghubungkan. berbagai pusat kegiatan di berbagai
daerah dengan kualitas yang relatif seragam. Kerjasama ini telah membuahkan
hasil berupa pertumbuhan dan kestabilan ekonomi yang tinggi di berbagai daerah
dan di seluruh wilayah negara. Salah satu contoh kerjasama di bidang
transportasi antar negara adalah kerjasama antar negara-negara Masyarakat
Ekonomi Eropa. Mereka menyamakan persepsi di bidang transportasi seperti
standar beban gandar kendaraan berat, sistem angkutan bus serta pelayanan
angkutan jalan rel (kereta api). Salah satu bentuk kerjasamanya adalah dengan
diadakannya pertemuan-pertemuan rutin untuk membahas standarisasi tersebut yang
diterbitkan dalam bentuk buku dan prosiding (Organisation for Economic
Co-operation and Development, 1983). Hasilnya tampak dengan makin eratnya
kerjasama antar negara, visa yang berlaku untuk semua anggota Masyarakat
Ekonomi Eropa serta mata uang tunggal yang berlaku di semua anggotanya.
Singapura juga merupakan contoh suatu negara
yang dapat memanfaatkan fasilitas transportasinya seperti bandara dan pelabuhan
lautnya untuk bekerjasama dengan negara-negara lain, dengan memberikan pelayanan
yang sangat baik, sehingga pesawat-pesawat udara dan kapal-kapal laut dari
pelbagai negara bersedia singgah di negara tersebut, yang tentu saja sangat
menguntungkan bagi pendapatan negara tersebut.
G. Pembiayaan
Sarana dan Prasarana Transportasi
Sejalan dengan krisis ekonomi pada beberapa
waktu yang lalu, program penanganan transportasi, terutama jaringan jalan, yang
dilakukan pemerintah ditekankan pada upaya mempertahankan berfungsinya jaringan
jalan dengan anggaran yang jauh lebih kecil dari tahun-tahun sebelumnya
(sekitar 50 %). Dengan kemampuan penganggaran tersebut, penanganan yang
dilakukan belum memadai dibandingkan dengan kebutuhan untuk mengatasi penurunan
kondisi jalan. Padahal, apabila penanganan jalan terlambat akan terjadi
kerusakan jalan yang lebih cepat dan parah yang mengakibatkan biaya perbaikan
yang jauh lebih besar (dibandingkan dengan perawatan rutin). Untuk menjamin
ketahanan jalan dan terlaksananya perawatan serta peningkatan jalan secara
rutin, maka sangat diperlukan peran serta masyarakat pengguna jalan untuk ikut
“memelihara” jalan dengan cara membatasi muatan sehingga tidak terjadi
kelebihan beban (over loading) dan ikut membiayai perawatan dan
peningkatan jalan (disesuaikan dengan “kemampuan” mereka dan seberapa jauh
mereka berperan dalam “merusak” jalan).
Pada kondisi jaringan jalan yang rusak dan
macet, sebetulnya yang paling dirugikan adalah masyarakat. Dengan adanya jalan
yang rusak dan kemacetan lalulintas biaya transportasi menjadi lebih tinggi dan
ini mengakibatkan harga barang menjadi naik. Untuk mencegah hal itu maka jalan
harus dirawat dan ditingkatkan secara rutin.
Adalah tidak mungkin, bila penanganan jalan
hanya mengandalkan sumber dana pemerintah. Oleh karena itu masyarakat harus
ikut membiayai dengan prinsip keadilan dan pemerataan. Dengan prinsip itu, maka
biaya yang dibayar oleh masyarakat tidak akan melebihi manfaat yang akan
diperoleh oleh masyarakat. Yang kaya akan mensubsidi yang miskin, yang
mempunyai peran lebih banyak dalam “merusak” jalan dan “membuat kemacetan” akan
membayar lebih mahal.
Berbagai cara untuk melibatkan masyarakat dalam
pembiayaan penanganan jalan yang telah dilaksanakan di berbagai negara antara
lain dengan pembiayaan melalui pajak jalan. Pajak ini diperoleh dari STNK,
pembelian spare parts, dan pembelian bahan bakar. Di negara-negara maju,
yang diperoleh dari pajak ini lebih besar daripada yang dibelanjakan untuk
penanganan jalan. Di Indonesia yang diperoleh dari pajak jalan hampir sama
dengan yang dibelanjakan untuk jalan. Hal ini antara lain karena pemerintah
masih harus mensubsidi bahan bakar (walaupun semakin lama subsidi ini semakin
kecil), dan biaya STNK belum memperhitungkan faktor kerusakan jalan yang dibuat
oleh masing-masing kendaraan.
Lain daripada itu, pembiayan dapat dilakukan
melalui konsesi. Pembiayaan melalui konsesi merupakan sistem pembagian resiko
antara pemerintah dan sektor swasta dalam pembiayaan jalan. Pemerintah
memberikan hak dan kewajiban kepada pihak swasta atau semi swasta (BUMN) untuk
membangun, memelihara, meningkatkan, dan mengoperasikan jalan dalam jangka
waktu tertentu dan pengguna jalan wajib untuk membayar tol.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sistem jaringan transportasi di Indonesia saat
ini masih jauh dari cukup. Pengembangan sistem transportasi masih sangat
diperlukan, yang harus didasarkan pada analisis yang komprehensif dan
pendekatan yang sistemik. Penerapan standar-standar perencanaan dan
standar-standar pelaksanaan serta peraturan-peraturan transportasi harus tegas
dan tidak pandang bulu. Sistem angkutan umum massal harus menjadi pilihan utama
guna mengatasi kemacetan lalulintas. Dukungan partisipasi masyarakat dan pihak
swasta sangat diperlukan guna mendukung pengembangan transportasi. Kerjasama
antar daerah dan kerjasama dengan negara lain sangat diperlukan, karena
transportasi tidak dapat dibatasi secara ruang dan harus direncanakan sebagai
satu kesatuan sistem.
B. KRITIK
DAN SARAN
Demi kesempurnaan makalah ini penulis sangat
mengharapkan Kritik dan saran dari para pembaca sehingga dapat diperbaiki di
kemudian hari, atas saran dan Kritik penulis ucapkan banyak terima kasih.
Daftar
Pustaka
Biro Pusat Statistik, 2006, Statistik Indonesia
2005/2006, Jakarta
Departemen Perhubungan, 2003, Cetak Biru
Pembangunan Perhubungan Tahun 2000 - 2024, - Jakarta
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas,
2002, Infrastruktur Indonesia Sebelum, Selama dan Pasca Krisis, Jakarta
Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen
Pekerjaan Umum RI, 1992, Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan,
Jakarta
Direktorat Lalu Lintas dan Angkutan Sungai,
Danau dan Penyeberangan, Ditjen Perhubungan Darat, 2003, Transportasi
Sungai, Danau, dan Penyeberangan, Jakarta
Hamerslag, R., 1991, Teacher Friendly
Transportation Program, Witte de Withlaan 20, 3941 WS Doorm, Netherlands
INRO Consultants Inc, 1998, EMME/2 User
Manual Software Release 9, Montreal Canada
Institute of Traffic Engineers (ITE), 1976, Transportation
and Traffic Engineering Handbook, Prentice Hall, New Jersey
Menteri/Sekretaris Negara RI, 1992,
Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, -, Jakarta.
Munawar, Ahmad, 1999, Traffic Accident Database
Management System in Indonesia, Proceedings the 3rd International
Conference on Accident Inverstigation, Reconstruction,
Munawar, Ahmad, 2006, Reformasi Angkutan
Umum Perkotaan di Yogyakarta, Prosiding the 2nd National Civil Engineering
Conference, Unika Soegijapranata Semarang, 20 – 21 Desember 2006
Munir, B., 2005, Pengembangan Infrastruktur
Transportasi Nusa Tenggara Barat, Jaringan Pena Press, Mataram
Ogden, K. W., Taylor, S. Y., 1999, Traffic
Engineering and Management, Institute of Transport Studies, Monash
University, Australia.
Organisation forEconomic Co-operation and
Development, 1983, Impacts of Heavy Freight vehicles, OECD, Paris
Ortuzar, J.D., and Willumsen, L.G., 1994, Modelling
Transport (second edition), John Wiley & Sons Inc, England
Pignataro, L. J., 1973, Traffic Engineering
Theory and Practice, Prentice Hall, Englewood
Widakdo, G., 2007, Kecelakaan Angkutan
Udara, Mengapa Terus Terjadi ?, Kompas, 6 Januari 2007
Spoiler for
title :